Sunday, July 16, 2006

Laporan dari Nias (1)

Tak Ada Sedan, kecuali Mobil Bupati

Oleh: Mega Christina

Pengantar Redaksi:

Atas undangan Perwakilan Badan Rehabiliasi dan Rekonstruksi (BRR) Nias, SH bersama empat wartawan lain dari Jakarta meliput pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi di Gunung Sitoli, Teluk Dalam, Lahewa, dan sekitarnya, 27-30 Juni 2006. Berbagai permasalahan menyeruak, SH menurunkannya dalam tiga tulisan bersambung mulai hari ini.

NIAS – Waktu serasa berjalan mundur di kepulauan ini. Sudah belasan tahun tidak pernah melihat pembuatan jalan dengan cara manual, ternyata di sekitar Kecamatan Lotu, Nias, pekerja pengaspal jalan masih menata batu dengan tangan dan menyiraminya dengan aspal yang dimasak pakai drum.

Itu pun hanya beberapa kilometer yang diaspal secara manual dengan lebar yang mepet untuk berpapasan dua mobil. Selebihnya lepas dari Gunung Sitoli Utara ke Lahewa adalah offroad alias jalanan berdebu dan berbatu, nyaris tak lagi beraspal. Tak jarang, lubang menganga dengan genangan air bak kubangan kerbau di tengah jalanan.

Tak heran kalau jarak tempuh 80 kilometer memakan waktu tidak kurang dari empat jam. Selama itu, jangan harap bisa merebahkan diri, untuk meletakkan kepala di sandaran mobil saja sudah tak mungkin. Pasalnya sepanjang jalan badan akan tergoncang-goncang, syukur kalau penumpangnya tidak terbentur body atau jendela mobil.

Itu belum apa-apa dibanding jalan ke arah pedalaman dan ke daerah pantai barat Pulau Nias. Di sana jalanan bukan sekadar offroad, malah tak jarang sudah bukan lagi jalanan yang bisa ditempuh dengan kendaraan roda empat, bahkan roda dua sekali pun. Jalan kaki menjadi satu-satunya pilihan yang tersedia untuk menembus pedalaman Nias yang berbukit-bukit.

Hal itu diperburuk dengan kondisi jembatan yang melintasi 92 sungai dari hulu ke hilir pantai-pantai Pulau Nias. Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh dan Nias melaporkan tidak kurang dari 400 jembatan rusak pascagempa bumi 8,7 skala Richter melanda Kepulauan Nias, 28 Maret 2005 lalu.

Gunung Sitoli-Lahewa hanya memiliki 1-2 jembatan yang utuh. Selebihnya ambruk, sehingga titian kayu yang ditata melintang dengan kayu memanjang dua jalur menjadi jembatan alternatif. Tak sedikit kondisi titian ini yang mengenaskan, dengan kayu lepas dan berlubang yang membahayakan pengendara yang melintas di atasnya.

Belum lagi kaki-kaki titian ini terancam penambangan pasir di bawah jembatan. Pengerukan secara merajalela itu jelas membahayakan fondasi kaki-kaki jembatan yang tertancap di dasar sungai tadi.

Tak heran kalau di Nias hampir tak ada mobil sedan. Kalaupun ada, itu kendaraan dinas Bupati Nias yang kini dijabat Binahati B Baeha.

Sudah Terbelakang

Kepala Perwakilan BRR di Nias, William Sabandar, menilai keterbelakangan Nias sudah terjadi bahkan jauh sebelum tsunami 26 Desember 2004 dan gempa bumi besar itu. Menurutnya infrastruktur di Pulau Nias sendiri sudah sangat parah sebelum bencana alam itu terjadi, apalagi di 132 pulau-pulau kecil di sekitarnya.

“Pulau-pulau kecil itu betul-betul terabaikan,” kata William ketika menerima wartawan dari Jakarta yang berkunjung ke Nias, pekan lalu.

Untuk rumah, ia mencontohkan. Sebelum gempa, tambahnya, kondisi rumah penduduk Nias sudah banyak yang tidak layak. Tak pelak begitu gempa menimpa, tidak kurang dari 15.000 rumah luluh lantak. Belum lagi bangunan sekolah. Ada 755 sekolah yang roboh akibat gempa alias 90 persen dari jumlah bangunan sekolah di Nias.

Sebelum gempa sistem air bersih tidak memadai. Perusahaan air minum hanya tersedia di Gunung Sitoli dan Teluk Dalam, ibu kota Nias Selatan (Nisel). Sekarang kondisinya lebih memprihatinkan. Ini mengingat sumur-sumur di pantai bagian barat dan utara Nias tak lagi berair karena perubahan struktur tanah.

Belum lagi urusan listrik. Sebelum gempa, cuma 30 persen wilayah Nias yang menikmati listrik, itu pun hanya di bagian timur dan di jalan-jalan kabupaten.

Namun setahun setelah gempa bumi, baru Kota Gunung Sitoli yang memiliki jalan mulus beraspal hotmix dan cukup lebar untuk berpapasan dua mobil tanpa harus berhenti. Malangnya justru kini, di ibu kota Nias bagian utara ini tiada hari tanpa kecelakaan lalu lintas.

Dilema sebuah jalan. Kalau rusak, hancur lebur sulit dilewati. Kalau mulus, tiap hari timbul kecelakaan. (*)

Sumber: Sinar Harapan - 14 Juli 2006

0 Comments:

Post a Comment

<< Home