Sunday, July 16, 2006

Laporan dari Nias (2)

Kemiskinan Absolut Kian Merajalela

Oleh: Mega Christina

P. NIAS - Kepulauan Nias, sebagaimana sebagian besar wilayah Nusantara, tidak hanya menyimpan kemiskinan infrastruktur mendalam. Di balik tanah subur nan menghijau, sungguh ironis kalau 80 persen penduduk Nias tergolong miskin sehingga perlu menerima Bantuan Tunai Langsung (BLT). Kesahajaan itu tercermin pada rumah kayu beratapkan rumbia dan beralasan tanah yang menjadi pemandangan biasa di Nias, sekali pun di Kota Gunung Sitoli.

Kepala Perwakilan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Nias William Sabandar mengakui dua kabupaten, yakni Nias dan Nias Selatan, merupakan kabupaten termiskin di Provinsi Sumatera Utara. Ia bahkan menyebutkan 132.000 keluarga tergolong bergizi buruk.

“Bencana tsunami dan gempa bumi diperkirakan akan mengurangi 20 persen Produk Domestik Bruto di Nias,” ujar William Sabandar.

Ia menambahkan, dari 740.726 penduduk Nias, akan bertambah sekitar 149.000 penduduk Nias yang hidup di garis kemiskinan. Bencana tsunami 26 Desember 2004 dan gempa bumi 28 Maret 2005 membuat kemiskinan rakyat Nias kian merajalela.

Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Itulah nasib penduduk Nias yang 95 persen beragama Kristen dan Katolik.

Pascagempa bumi rusaknya infrastruktur jalan, jembatan, dan pelabuhan mempertinggi biaya angkutan, padahal kebutuhan pokok di kepulauan ini banyak yang mesti “diimpor” dari daratan Sumatera melalui Pelabuhan Sibolga, Sumatera Utara.

Belum lagi, kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) Maret dan Oktober 2005. Ini turut mendongkrak kenaikan harga-harga kebutuhan pokok di Nias.

Parahnya harga kebutuhan meroket, sedangkan pendapatan dari komoditas lokal justru merosot. Perwakilan BRR Nias menyebutkan harga komoditas lokal anjlok sampai 70 persen.

Misalnya, beras dulu harganya setara dengan kelapa, komoditas andalan Nias. Sekarang di Desa Balefodorotuho, Kecamatan Lahewa, di ujung utara Pulau Nias, harga beras bisa mencapai lebih dari Rp 5.000 per kilogram (kg). Sementara itu, pendapatan dari kelapa utuh yang dulu laku sampai Rp 1.700/kg, kini tinggal Rp 900/kg.

“Setelah gempa, pabrik minyak kelapa tinggal satu, jadi mereka yang menentukan harga. Enam kilo kelapa baru kita dapat satu kilo beras,” keluh Fatiziduhu Zalukhu, seorang petani tradisional, ketika wartawan Jakarta berkunjung di Balefodorotuho.
Memang harga hampir semua barang di Nias jauh lebih mahal, bahkan dibanding dengan Jakarta sekali pun. Contohnya ketika seorang wartawan membeli mie cup instant di Gunung Sitoli, harganya dua kali lipat dibanding di Jakarta. Barang-barang kebutuhan pokok tak terbeli, tak heran kalau kasus gizi buruk kian menjadi-jadi.

Ikan pun Mahal
Harga ikan tangkapan nelayan tradisional di Nias pun ikut mahal. Pasalnya 90 persen kehidupan nelayan dan petani telah menjadi korban tsunami dan gempa bumi. Tidak hanya desa-desa nelayan rusak, kapal dan perangkat kerja lainnya juga turut hancur.

Itu belum apa-apa. Pasalnya gempa bumi 8,7 skala Richter (SR) 28 Maret 2005 itu telah menyebabkan perubahan struktur tanah di Kepulauan Nias. Di Kecamatan Lahewa, Afulu dan Sirombo, permukaan daratannya naik, sehingga air laut surut hingga 500 meter.

“Kami dulu mendapat ikan dengan memancing hanya 500 meter dari pinggir pantai. Sekarang sudah satu kilometer lebih belum tentu dapat ikan, padahal kami punya hanya sampan kecil,” kata Afrar Tanjung, nelayan Desa Sihene, Kecamatan Lahewa, sebagaimana dikutip buletin Fatuhe di Nias.

Perubahan struktur tanah di pantai timur Pulau Nias, justru menenggelamkan desa nelayan Tagaule Onlimbo, Kecamatan Bawolato. Selain itu, muncul karang sepanjang Pantai Sorake di Kecamatan Teluk Dalam, Nias Selatan, sehingga nelayan sulit melaut.

Tah heran kalau harga ikan pun ikut menjadi mahal, meski tak harus “diimpor” dari luar Nias. Kehidupan pun kian sulit di kepulauan dengan lambaian ribuan nyiur melambai ini. Memiriskan hati. (*)

Sumber: Sinar Harapan, 15 Juli 2006.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home