Sunday, August 20, 2006

KETUA LEMBAGA KOMID SBY NIAS: MINTA KEPALA BRR EVALUASI KONTRAKTOR

Gunungsitoli (SIB)

Ketua Lembaga Komunitas Independen (Komid) SBY Kabupaten Nias Petrus S. Gulo, SE mendesak Kepala BRR Perwakilan Nias William Sabandar untuk mengambil langkah konkrit dalam rangka menyelamatkan eksistensi BRR membangun Nias. Hal itu dikatakan Petrus dalam siaran persnya kepada SIB di Gunungsitoli, Kamis (18/5), menyikapi kinerja BRR Nias yang masih jauh dari harapan.

Dikatakan, Kepala BRR Perwakilan Nias sudah saatnya melakukan reposisi sumber daya manusia dalam struktur organisasinya, terutama personil yang dilihat kurang mampu dan tidak cakap guna mendorong akselerasi proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Nias.

Satu tahun lebih atau telah melewati ? waktu dari 4 tahun rencana BRR membangun Nias, sudah cukup sebagai dasar untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja para manager dan kepala satuan kerja BRR Nias. Mengingat waktu yang kurang dari 3 tahun lagi, maka sangat dibutuhkan sumber daya manusia yang handal dalam menjawab visi dan misi BRR di Nias. Penempatan sumber daya manusia yang profesional di bidangnya merupakan tuntutan kebutuhan dan jawaban mutlak.

Menurut pantauan Lembaga Komid SBY Nias, sektor pembangunan perumahan dan pelayanan umumlah yang merupakan sektor paling lemah saat ini. Satker pembangunan perumahan, satker pendidikan, dan kesehatan terkesan tidak menunjukkan kinerja berarti. Sebaiknya Satker inilah yang harus dikendalikan oleh sumber daya manusia yang profesional dan kredibel.

Proyek pembangunan perumahan telah menuai banyak masalah di tengah masyarakat, yang hampir bisa dipastikan tidak bisa dikendalikan. Rendahnya penyerapan dana pada Satker Pendidikan dan Kesehatan merupakan bukti kegagalan total. Kegagalan total jangan dilihat bahwa tidak ada yang diperbuat. "Jangan lihat pekerjaan yang sedikit, tetapi lihatlah pekerjaan besar yang masih belum dikerjakan", demikian Petrus memberikan ilustrasi.

Khusus untuk Satker Pendidikan dan Kesehatan tidak terlihat program kerja yang signifikan, jika dibandingkan pagu anggaran yang tersedia. Di Satker Kesehatan begitu banyak penyerapan dana yang non fisik. Bahkan menurut informasi yang terima Lembaga KOMID SBY Nias, banyak dana yang dibagi-bagikan dengan alasan insentif, honor, bonus,
pengadaan pakaian dinas, dan lain sebagainya. "Pokoknya dana-dana yang dibagikan ini perlu diaudit, dan ditarik kembali. Karena sangat memungkinkan terjadi KKN. Yang tidak perlu dibayar, malah dibayar," kata Petrus.

Semua mengetahui bahwa pegawai rumah sakit itu bekerja untuk memberikan pelayanan kepada yang sakit dan telah digaji untuk itu. Bukan setelah datang BRR, baru mendapatkan gaji. Hal ini telah menimbulkan kesenjangan atau kecemburuan terhadap pegawai pemerintah pada instansi lain, yang juga merupakan bagian dari pelayanan
masyarakat.

Karena itu, Lembaga Komid SBY Nias mendesak Kepala BRR Perwakilan Nias untuk segera mengevaluasi kinerja Kasatker Pembangunan Perumahan. Demikian juga Kasatker Pendidikan dan Kesehatan, bila perlu menempatkan Kasatker yang kredibel dan profesional.

Reposisi itu sangat perlu demi keberhasilan program BRR di Nias. BRR akan segera berlalu dari Nias. Kurang dari 3 tahun lagi bukan waktu yang lama, dan masa kurang dari 3 tahun ini, diharapkan dapat dioptimalkan dengan baik. Sisa tahun ini jangan dijadikan sebagai waktu belajar bagi yang tidak mampu, apalagi untuk dijadikan waktu
untuk ber-KKN, yang membuat Nias lebih terpuruk. "Di pundak kepala BRR-lah Nias baru akan kita dapatkan," kata Petrus. (LZ/n)

Sumber: SIB Online, Jumat, 18 Agustus 2006.

Friday, August 11, 2006

15.000 Rumah Baru dan 45.000 Rehabilitasi Dicanangkan Untuk Rekonstruksi Nias

Medan (SIB)

Strategi rekonstruksi dan pembangunan berkelanjutan di Kepulauan Nias dilakukan melalui empat pilar dan 10 sasaran utama diantaranya pembangunan perumahan dan pemukiman dengan prinsip build back better terhadap 15.000 rumah baru dan 30.000 sampai 45.000 rumah rehabilitasi dicanangkan untuk rekonstruksi Nias.

Ka Bappeda Propinsi Sumut Drs RE Nainggolan MM dan Kabid Humas Pimpinan Pempropsu Drs ML Tobing S.Sos menjelaskan hal itu kepada wartawan di Kantor Gubsu, Rabu (9/8) sore.

"Untuk lebih menerpadukan perencanaan dan tindak lanjutnya secara lintas sektoral, lintas pemerintah daerah dengan Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR NAD-Nias) secara berkala terus dilaksanakan pembahasan," ujar Nainggolan usai memimpin koordinasi di Kantor Bappedasu di Medan, dihadiri Kepala Perwakilan BRR NAD-Nias Willy Syahbanda, Manajer Kasatker's, technical advisor pada Kepala Dinas Provinsi kompeten, Plh Sekretariat Dewan Pengarah BRR NAD-Nias Marsda (Purn) Suyitno, Staf ahli Kementerian Polhukam, Kementerian Kesra dan Kementerian Ekonomi, Pejabat Bappenas dan Kepala Perwakilan Medan Ir. Riadil Akhir Lubis Msi.

Dijelaskan, saat ini pembangunan kembali Kepulauan Nias sudah memasuki tahun kedua kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi yang meliputi: perumahan, infrastruktur, pendidikan, kesehatan, sosial/agama, pelayanan umum dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Ditaksir penanggulangan akibat kerusakan yang terjadi tersebut mencapai Rp 4 triliun dan untuk membangun kembali secara utuh dibutuhkan dana sekitar Rp 10 triliun.

Koordinasi kemarin juga membahas mendiskusikan perkembangan seputar penanganan pasca bencana dan tindaklanjutnya dengan memperhatikan Perpres 30 tahun 2005 dan usulan kabupaten/ kota lainnya yang diharapkan diperoleh suatu bentuk penanganan yang terpadu melalui pemberdayaan sekretariat bersama yang sudah dibentuk.

Pelaksanaan kegiatan dimaksud secara berkelanjutan dilakukan dengan empat pilar utama yakni perumahan dan permukiman yang sehat, infrastruktur yang handal, ekonomi yang tangguh dan kelembagaan yang kuat dengan 10 sasaran utama yakni perumahan dan permukiman (15.000 rumah baru dan 30.000 - 45.000 rehabilitasi), sistem air bersih, sanitasi dan lingkungan, infrastruktur ekonomi khususnya jalan, jembatan dan pelabuhan (Gunungsitoli, Teluk Dalam, Lahewa, Sirombu, P. Tello), airport/airstrip (Binana, Pulau Tello dan Teluk Dalam), kelistrikan dan komunikasi, irigasi, pengembangan ekonomi regional, iklim investasi, sistem lembaga keuangan dan pasar yang sehat dengan fokus pada perikanan, coklat dan karet, revitalisasi RSU Gunung Sitoli dan pengembangan sistem pelayanan kesehatan berjenjang,revitalisasi pendidikan, Penguatan kelembagaan pemerintah daerah serta revitalisasi kebudayaan Nias.

Total rencana pendanaan sampai dengan tahun anggaran 2009 diperkirakan terdiri dari Rp 4,51 triliun melalui bantuan luar negeri (On-budget), dan sekitar Rp. 1,45 triliun melalui bantuan luar negeri (Off Budget). Alokasi pertahunnya terdiri dari tahun 2005 sampai sebesar Rp 410 miliar (on-budget) dan off budget sebesar Ro. 1,45 triliun, tahun 2006 sebesar Rp 1,1 triliun, tahun 2007 Rp 1,4 triliun, tahun 2008 Rp 1,1 triliun dan tahun 2009 Rp 500 miliar.

Pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi tahun 2006 di Kepulauan Nias sebesar Rp 1,105,421,000,000 meliputi sektor Perumahan Rp 528,06 juta, Infrastruktur Rp 297,11 juta, Kelembagaan, Pendidikan dan Kesehatan Rp 202,96 juta, Ekonomi dan Usaha Rp 36,355 juta, Agama, Sosial dan Budaya Rp 34,862 juta dan Sekretariat Rp 6,26 juta.

Dengan jumlah Satker sementara, sebanyak 17 satker (15 satker di G. Sitoli dan 2 Satker di Teluk Dalam) dengan 2 paket; 414 paket terdiri dari 245 paket kecil dan 169 paket non kecil. Penyerapan kemajuan dana on budget sampai Juni 2006 telah mencapai Rp.370 miliar dan diharapkan sampai Desember 2006 mencapai Rp 1,5 triliun.

Khusus pembangunan kembali bidang perumahan dan penanganan pengungsi saat ini dari jumlah pengungsi 4.032 KK yang dulu tinggal di tenda menurun drastis dan tersisi 298 keluarga (yang tidak memiliki lahan) tapi sedang dalam proses pemindahan ke temporary shelter hingga Agustus 2006. Kemajuan rekonstruksi perumahan hingga saat ini sudah terbangun 2.317 unit yang terdiri dari 1.403 unit oleh BRR, 914 unit oleh 14 NGO, 1.508 unit yang sudah direhabilitasi dan dana pergantian pembangunan rumah oleh BRR, dan persiapan pelaksanaan pembangunan perumahan baru sebanyak 7.000 unit untuk bantuan tahun 2006, serta 447 unit yang sedang dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi oleh BRR.

Berbagai masalah yang ada, jelas Nainggolan, seperti untuk penanganan pengungsi, masih sangat kurang sekali dalam penyiapan lahan untuk penampungan yang masih tinggal di tenda - tenda dan terbatasnya unit temporary shelter untuk penampungan sementara bagi para pengungsi, terbatasnya transportasi ke Kepulauan Nias untuk mengangkut bahan - bahan material, seperti pengangkutan ferry dari dan ke kepulauan Nias, dan sulitnya penyediaan bahan material dari dan ke lokasi.

Khusus penanganan 6 kabupaten/kota lainnya yang terkena dampak tsunami dan gempa bumi seperti Kabupaten Mandailing Natal, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Serdang Bedagai, Samosir, dan Sibolga diharapkan peran Pemerintah Pusat/Departemen kompeten melalui koordinasi Bappenas, agar dapat menyusun rencana aksi dengan segera agar dapat dilaksanakan pada tahun 2007 mendatang apakah pendanaannya melalui BRR atau Departemen teknis. Untuk itu, pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang dikoordinir Bappedasu akan segera menyampaikan usulan prioritas tersebut.

Ka Bappedasu juga menyarankan kepada semua pihak pelaksana agar meningkatkan koordinasi perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian pada semua lini dan sektor melalui Sekretariat Bersama yang telah dibentuk, dalam rangka mempercepat pemulihan kembali kehidupan Nias yang baru, dan pembangunan Sumatera Utara keseluruhan.

Sumber: Harian SIB Online, Jumat 11 Agustus 2006

Monday, July 17, 2006

Laporan dari Nias (3)

Tinggal dan Sekolah di Tenda Berjamur

NIAS - Keterbelakangan dan keterpurukan warga Nias kian lengkap pasca tsunami 26 Desember 2004 dan gempa bumi 28 Maret 2005. Infrastruktur payah, pendapatan kian rendah, harga melambung tak terjangkau, bahkan rumah pun tak punya.

Hingga pertengahan 2006, masih 352 Kepala Keluarga (KK) yang tinggal di tenda-tenda, 249 KK di antaranya di Nias Selatan. Sampai-sampai tendanya sudah bulukan alias berjamur menghitam. Belum lagi curah hujan yang relatif tinggi di Nias, membuat tenda-tenda itu kian lembab berjamur dan mengancam kesehatan penghuninya.

Sebagai terobosan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Nias dengan bantuan dari International Federation Red Cross & Red Crescent (IRRC) membangun rumah sementara dari papan. Dari stok 2.000 rumah kayu yang bisa dipasang sistem knock-down, saat ini telah berdiri 400-an rumah. Di samping itu BRR menargetkan sekitar 7.000 rumah permanen terbangun seluruhnya pada 2007.

“Puncak pembangunan September-Oktober ini, tapi harga kayu sudah empat kali lipat, bayaran tukang sudah naik dua kali lipat,” kata Manajer Khusus Pengungsi dan Urusan Percepatan Perwakilan BRR Nias, Yunus Situmorang.

Kalau urusan rumah sudah mulai tertangani dan segera akan mencapai puncak rekonstruksi, tidak demikian halnya dengan fasilitas pendidikan. Padahal 90 persen (732) gedung sekolah di kepulauan ini rusak akibat gempa.

Dari anggaran tahun 2005, BRR hanya mampu merehabilitasi 52 sekolah dan merekonstruksi 98 sekolah. Sampai-sampai Kepala Perwakilan BRR Nias, William Sabandar, mengancam akan mencopot Kepala Satuan Kerja (Satker) Pendidikan.

“Bayangkan dari 55 paket yang ditenderkan, hanya lima paket yang berhasil. Ini sebuah prestasi yang buruk,” tegas Willliam sebagaimana dikutip Buletin Fatuhe.

Tak pelak anak-anak Nias harus bersekolah di bawah tenda yang sudah bulukan. Padahal William mengakui rendahnya tingkat pendidikan di sini. Rata-rata penduduk hanya berpendidikan kelas enam Sekolah Dasar (SD), bandingkan dengan Medan yang rata-rata pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA).

Tokoh masyarakat Nias, Waspada Wau mengakui ada falsafah salah yang dianut penduduk Nias agar anak tidak melebihi orangtuanya. Selain itu ia memandang orang Nias belum tuntas dalam bernegara.

“Ibarat orang mau beli sepeda dengan menjual balok (kayu) ke pasar. Begitu melihat ada pajak sepeda, maka ia tetap jual baloknya tapi batal beli sepeda. Itu urusan sepeda, apalagi sekolah yang tidak terlihat hasilnya secara fisik,” jelas Waspada Wau kepada SH.

Terkerdilkan Aceh
Terlepas dari berbagai hambatan, dana untuk rehabilitasi dan rekonstruksi bagi Nias tergolong kecil. Dari anggaran tahun 2005, Perwakilan BRR Nias hanya mendapat alokasi Rp 430 miliar (sekitar 10 persen) dari total dana rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias. Tahun 2006 ini sedikit meningkat menjadi 11 persen dengan anggaran Rp 1,1 triliun.

Sementara dana dari donor internasional malah lebih kecil lagi. William Sabandar menyebut donor internasional hanya menyumbang kurang dari empat persen untuk rehabiltasi dan rekonstruksi Nias.

Data per Mei 2006 BRR menyebutkan ada komitmen dana Rp 920,4 miliar dari 59 LSM yang bekerja di Nias. Dari jumlah itu baru Rp 332,9 miliar (36 persen) yang terealisir, sementara yang Rp 587,5 miliar (64 persen) masih berupa janji.

“Padahal kalau melihat kerusakan di Nias sekitar 15 persen, idealnya Nias membutuhkan Rp 10 triliun dalam empat tahun untuk membangun kembali agar jadi lebih baik. Jadi dana ini jauh dari cukup,” keluh William.

Koordinator LSM Lazarus-Hilfswerk in Deutschland e.V, Gert W Widmann, mengakui Nias “terkerdilkan” oleh Aceh. Menurut dia, ini karena belum pernah dalam sejarah di negaranya orang melihat gelombang besar tsunami menyapu bersih seperti di Aceh, sehingga perhatian ke Aceh lebih besar. Ia juga menyoroti peran media yang lebih mengekspos Aceh, dibanding Nias yang memang terisolir dan sulit dijangkau.

Tak pelak lagi, Nias yang sudah terbelakang bakal kian tertinggal.

(mega christina)

Sunday, July 16, 2006

Laporan dari Nias (2)

Kemiskinan Absolut Kian Merajalela

Oleh: Mega Christina

P. NIAS - Kepulauan Nias, sebagaimana sebagian besar wilayah Nusantara, tidak hanya menyimpan kemiskinan infrastruktur mendalam. Di balik tanah subur nan menghijau, sungguh ironis kalau 80 persen penduduk Nias tergolong miskin sehingga perlu menerima Bantuan Tunai Langsung (BLT). Kesahajaan itu tercermin pada rumah kayu beratapkan rumbia dan beralasan tanah yang menjadi pemandangan biasa di Nias, sekali pun di Kota Gunung Sitoli.

Kepala Perwakilan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Nias William Sabandar mengakui dua kabupaten, yakni Nias dan Nias Selatan, merupakan kabupaten termiskin di Provinsi Sumatera Utara. Ia bahkan menyebutkan 132.000 keluarga tergolong bergizi buruk.

“Bencana tsunami dan gempa bumi diperkirakan akan mengurangi 20 persen Produk Domestik Bruto di Nias,” ujar William Sabandar.

Ia menambahkan, dari 740.726 penduduk Nias, akan bertambah sekitar 149.000 penduduk Nias yang hidup di garis kemiskinan. Bencana tsunami 26 Desember 2004 dan gempa bumi 28 Maret 2005 membuat kemiskinan rakyat Nias kian merajalela.

Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Itulah nasib penduduk Nias yang 95 persen beragama Kristen dan Katolik.

Pascagempa bumi rusaknya infrastruktur jalan, jembatan, dan pelabuhan mempertinggi biaya angkutan, padahal kebutuhan pokok di kepulauan ini banyak yang mesti “diimpor” dari daratan Sumatera melalui Pelabuhan Sibolga, Sumatera Utara.

Belum lagi, kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) Maret dan Oktober 2005. Ini turut mendongkrak kenaikan harga-harga kebutuhan pokok di Nias.

Parahnya harga kebutuhan meroket, sedangkan pendapatan dari komoditas lokal justru merosot. Perwakilan BRR Nias menyebutkan harga komoditas lokal anjlok sampai 70 persen.

Misalnya, beras dulu harganya setara dengan kelapa, komoditas andalan Nias. Sekarang di Desa Balefodorotuho, Kecamatan Lahewa, di ujung utara Pulau Nias, harga beras bisa mencapai lebih dari Rp 5.000 per kilogram (kg). Sementara itu, pendapatan dari kelapa utuh yang dulu laku sampai Rp 1.700/kg, kini tinggal Rp 900/kg.

“Setelah gempa, pabrik minyak kelapa tinggal satu, jadi mereka yang menentukan harga. Enam kilo kelapa baru kita dapat satu kilo beras,” keluh Fatiziduhu Zalukhu, seorang petani tradisional, ketika wartawan Jakarta berkunjung di Balefodorotuho.
Memang harga hampir semua barang di Nias jauh lebih mahal, bahkan dibanding dengan Jakarta sekali pun. Contohnya ketika seorang wartawan membeli mie cup instant di Gunung Sitoli, harganya dua kali lipat dibanding di Jakarta. Barang-barang kebutuhan pokok tak terbeli, tak heran kalau kasus gizi buruk kian menjadi-jadi.

Ikan pun Mahal
Harga ikan tangkapan nelayan tradisional di Nias pun ikut mahal. Pasalnya 90 persen kehidupan nelayan dan petani telah menjadi korban tsunami dan gempa bumi. Tidak hanya desa-desa nelayan rusak, kapal dan perangkat kerja lainnya juga turut hancur.

Itu belum apa-apa. Pasalnya gempa bumi 8,7 skala Richter (SR) 28 Maret 2005 itu telah menyebabkan perubahan struktur tanah di Kepulauan Nias. Di Kecamatan Lahewa, Afulu dan Sirombo, permukaan daratannya naik, sehingga air laut surut hingga 500 meter.

“Kami dulu mendapat ikan dengan memancing hanya 500 meter dari pinggir pantai. Sekarang sudah satu kilometer lebih belum tentu dapat ikan, padahal kami punya hanya sampan kecil,” kata Afrar Tanjung, nelayan Desa Sihene, Kecamatan Lahewa, sebagaimana dikutip buletin Fatuhe di Nias.

Perubahan struktur tanah di pantai timur Pulau Nias, justru menenggelamkan desa nelayan Tagaule Onlimbo, Kecamatan Bawolato. Selain itu, muncul karang sepanjang Pantai Sorake di Kecamatan Teluk Dalam, Nias Selatan, sehingga nelayan sulit melaut.

Tah heran kalau harga ikan pun ikut menjadi mahal, meski tak harus “diimpor” dari luar Nias. Kehidupan pun kian sulit di kepulauan dengan lambaian ribuan nyiur melambai ini. Memiriskan hati. (*)

Sumber: Sinar Harapan, 15 Juli 2006.

Laporan dari Nias (1)

Tak Ada Sedan, kecuali Mobil Bupati

Oleh: Mega Christina

Pengantar Redaksi:

Atas undangan Perwakilan Badan Rehabiliasi dan Rekonstruksi (BRR) Nias, SH bersama empat wartawan lain dari Jakarta meliput pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi di Gunung Sitoli, Teluk Dalam, Lahewa, dan sekitarnya, 27-30 Juni 2006. Berbagai permasalahan menyeruak, SH menurunkannya dalam tiga tulisan bersambung mulai hari ini.

NIAS – Waktu serasa berjalan mundur di kepulauan ini. Sudah belasan tahun tidak pernah melihat pembuatan jalan dengan cara manual, ternyata di sekitar Kecamatan Lotu, Nias, pekerja pengaspal jalan masih menata batu dengan tangan dan menyiraminya dengan aspal yang dimasak pakai drum.

Itu pun hanya beberapa kilometer yang diaspal secara manual dengan lebar yang mepet untuk berpapasan dua mobil. Selebihnya lepas dari Gunung Sitoli Utara ke Lahewa adalah offroad alias jalanan berdebu dan berbatu, nyaris tak lagi beraspal. Tak jarang, lubang menganga dengan genangan air bak kubangan kerbau di tengah jalanan.

Tak heran kalau jarak tempuh 80 kilometer memakan waktu tidak kurang dari empat jam. Selama itu, jangan harap bisa merebahkan diri, untuk meletakkan kepala di sandaran mobil saja sudah tak mungkin. Pasalnya sepanjang jalan badan akan tergoncang-goncang, syukur kalau penumpangnya tidak terbentur body atau jendela mobil.

Itu belum apa-apa dibanding jalan ke arah pedalaman dan ke daerah pantai barat Pulau Nias. Di sana jalanan bukan sekadar offroad, malah tak jarang sudah bukan lagi jalanan yang bisa ditempuh dengan kendaraan roda empat, bahkan roda dua sekali pun. Jalan kaki menjadi satu-satunya pilihan yang tersedia untuk menembus pedalaman Nias yang berbukit-bukit.

Hal itu diperburuk dengan kondisi jembatan yang melintasi 92 sungai dari hulu ke hilir pantai-pantai Pulau Nias. Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh dan Nias melaporkan tidak kurang dari 400 jembatan rusak pascagempa bumi 8,7 skala Richter melanda Kepulauan Nias, 28 Maret 2005 lalu.

Gunung Sitoli-Lahewa hanya memiliki 1-2 jembatan yang utuh. Selebihnya ambruk, sehingga titian kayu yang ditata melintang dengan kayu memanjang dua jalur menjadi jembatan alternatif. Tak sedikit kondisi titian ini yang mengenaskan, dengan kayu lepas dan berlubang yang membahayakan pengendara yang melintas di atasnya.

Belum lagi kaki-kaki titian ini terancam penambangan pasir di bawah jembatan. Pengerukan secara merajalela itu jelas membahayakan fondasi kaki-kaki jembatan yang tertancap di dasar sungai tadi.

Tak heran kalau di Nias hampir tak ada mobil sedan. Kalaupun ada, itu kendaraan dinas Bupati Nias yang kini dijabat Binahati B Baeha.

Sudah Terbelakang

Kepala Perwakilan BRR di Nias, William Sabandar, menilai keterbelakangan Nias sudah terjadi bahkan jauh sebelum tsunami 26 Desember 2004 dan gempa bumi besar itu. Menurutnya infrastruktur di Pulau Nias sendiri sudah sangat parah sebelum bencana alam itu terjadi, apalagi di 132 pulau-pulau kecil di sekitarnya.

“Pulau-pulau kecil itu betul-betul terabaikan,” kata William ketika menerima wartawan dari Jakarta yang berkunjung ke Nias, pekan lalu.

Untuk rumah, ia mencontohkan. Sebelum gempa, tambahnya, kondisi rumah penduduk Nias sudah banyak yang tidak layak. Tak pelak begitu gempa menimpa, tidak kurang dari 15.000 rumah luluh lantak. Belum lagi bangunan sekolah. Ada 755 sekolah yang roboh akibat gempa alias 90 persen dari jumlah bangunan sekolah di Nias.

Sebelum gempa sistem air bersih tidak memadai. Perusahaan air minum hanya tersedia di Gunung Sitoli dan Teluk Dalam, ibu kota Nias Selatan (Nisel). Sekarang kondisinya lebih memprihatinkan. Ini mengingat sumur-sumur di pantai bagian barat dan utara Nias tak lagi berair karena perubahan struktur tanah.

Belum lagi urusan listrik. Sebelum gempa, cuma 30 persen wilayah Nias yang menikmati listrik, itu pun hanya di bagian timur dan di jalan-jalan kabupaten.

Namun setahun setelah gempa bumi, baru Kota Gunung Sitoli yang memiliki jalan mulus beraspal hotmix dan cukup lebar untuk berpapasan dua mobil tanpa harus berhenti. Malangnya justru kini, di ibu kota Nias bagian utara ini tiada hari tanpa kecelakaan lalu lintas.

Dilema sebuah jalan. Kalau rusak, hancur lebur sulit dilewati. Kalau mulus, tiap hari timbul kecelakaan. (*)

Sumber: Sinar Harapan - 14 Juli 2006

Friday, June 30, 2006

Australia Siapkan Aus$ 63 Juta untuk Aceh, Nias, Yogya, Klaten

Denpasar (detikcom) -
Pemerintah Australia menyiapkan dana bantuan tambahan Aus$ 63 juta untuk pembangunan kembali Aceh-Nias dan Yogyakarta-Klaten. Dari jumlah itu, sebanyak Aus$ 30 juta digunakan untuk rekonstruksi Bantul dan Klaten. Bantuan ini untuk memperbaiki dan membangun sekolah, fasilitas kesehatan dan perumahan, serta mengembalikan mata pencaharian masyarakat.

Sedangkan Aceh-Nias kebagian Aus$ 33 juta. Rinciannya, Aus$ 10 juta untuk rekonstruksi Nias, membangun kembali prasarana jalan dan sekolah, dan Aus$ 23 juta untuk rekonstruksi Aceh utamanya untuk perumahan dan penataan tanah.Dana Aus$ 63 juta ini merupakan bantuan tambahan setelah sebelumnya dikucurkan Aus$ 1 miliar. Jumlah total bantuan pembangunan Australia untuk Indonesia akan mencapai Aus$ 2 miliar dalam kurun waktu 5 tahun.

Bantuan itu termasuk untuk manajemen perikanan, penanggulangan illegal fishing, illegal logging, reboisasi dan pendidikan."Indonesia mengapresiasi komitmen Australia bahwa bantuan untuk pembangunan tidak dipakai untuk membiayai aktivitas politik yang mendukung gerakan separatis di Indonesia," kata Menko Perekonomian Boediono dalam joint press bersama 11 menteri Indonesia dan 5 menteri Australia usai acara Forum Menteri Indonesia-Australia di Denpasar, Kamis (29/6/2006).

Menlu Australia Alexander Downer menyoroti tentang kerjasama pertahanan yang bukan merupakan kerjasama sekutu militer seperti dengan AS. Kerjasama pertahanan ini adalah dalam bentuk melawan teroris dan kejahatan lintas wilayah. (nrl)

Sumber: http://www.detiknews.com/

Friday, April 14, 2006

PGI : Pemerintah Harus Konsisten Membangun Kembali Nias

Jakarta. Pemerintah harus konsisten untuk membangun kembali Nias yang rusak total akibat diterpa dua bencana yaitu tsunami Desember 2004 dan gempa bumi Maret 2005. dibanding dengan pemulihan Aceh, pembangunan di Nias terkesan lamban sehingga semakin banyak masyarakat yang menderita.

Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Richard Daulay di Jakarta, Selasa (4/4) mengatakan, pemerintah perlu melakukan perencanaan yang sistematis dan terencana untuk membangun kembali Nias agar penderitaan masyarakat di sana tidak berlarut-larut. Diakuinya, pembangunan Nias sudah mulai kelihatan, tetapi masih berjalan lambat.

Dalam konsep membangun kembali Nias, pemerintah seharusnya mempertimbangkan berbagai aspek sebab kondisi masyarakat yang ada sekarang sangat berbeda. Sebagian besar masyarakat yang tertimpa musibah itu, disamping sudah kehilangan materi juga nyaris kehilangan semangat hidup sebab mereka belum melihat pembangunan yang berarti di daerahnya.

PGI, lanjutnya, sebagai lembaga moral terus menyuarakan semangat kebangkitan bagi masyarakat Nias serta proaktif mengakses bantuan-bantuan rehabilitas baik dari dalam maupun luar negeri. Serangkaian dengan peringatan satu tahun peristiwa gempa bumi, akhir Maret lalu PGI bersama Tim Nias Bangkit melakukan perkunjungan kemanusiaan ke Nias.

Pada kesempatan itu, PGI menyampaikan bantuan dari sejumlah gereja di Jerman rehabilitasi dan pemberdayaan ekonomi di dua desa di Kabupaten Nias yaitu Salonako dan Sifaoroasi (sekitar 100 km sebelah Utara Gunung Sitoli). Lokasi kedua desa ini sangat terpencil dan dihuni sedikitnya 420 kepala keluarga.

Richard yang didampingi Wakil Bendahara PGI Yupiter Gulo, bantuan dari gereja Jerman berasal dari Landkreis Bobligen (Rp 318 juta) dan Jemaat Berbahasa Korea di Stutgart (Rp 85 juta). Bantuan senilai Rp 403 juta itu diperuntukkan bagi rehabilitasi fisik yaitu rumah penduduk, pemberdayaan ekonomi, dan trauma konseling.

“Bantuan ini disampaikan donor setelah mereka melihat langsung lokasi gempa di Nias,” kata Richard. Lankreis Bobligen, lanjutnya, menyampaikan bantuannya secara bertahap terutama untuk rehabilitasi rumah penduduk. Pada tahap awal ini Lankreis sudah menyiapkan dana untuk merehabilitasi 50 unit rumah penduduk yang rusak total. Sedangkan untuk pemberdayaan ekonomi rakyat, mereka telah menyerahkan 26 unit kapal motor dan jaring tangkap.

Di bagian lain, Yupiter menjelaskan, selain menyerahkan bantuan dari gereja Jerman, PGI melalui Tim Nias Bangkit juga melakukan Ibadah Raya ‘Madah Syukur” yang melibatkan seluruh penduduk di Kabupaten Nias Selatan. Sekitar 5.000 orang penduduk menghadiri peringatan tersebut dan menyatakan komitmen bersama untuk kembali membangun Nias.

Di beberapa lokasi terpisah, tambahnya, Tim Nias Bangkit juga melakukan pelayanan kesehatan, penyerahan bantuan 12 unit kapal motor bantuan dari Jemaat Berbahasa Korea di Stutgart, pengadaan rumah baca, peletakan pertama pembangunan aula Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP), pembangunan sekolah, puskesmas, dan bagan ikan di Nias Barat. Pengadaan fasilitas itu didukung oleh Yayasan Taman Bacaan Indonesia dan Bank Indonesia Peduli.

Kepala Biro Litbang dan Komunikasi PGI

Adri Supriyati
Jalan Salemba Raya Nomor 10 Jakarta 10430
021-3150451

Sumber: Situs PGI (http://www.pgi.or.id)

Friday, March 03, 2006

BPK-Kejagung Diminta Audit Investigatif Dana Aceh-Nias

Muhammad Nur Hayid - detikcom

Jakarta - Dana tanggap darurat untuk Aceh dan Nias diduga diselewengkan. Tim Pengawas Aceh dan Nias DPR meminta pemerintah segera mempertanggungjawabkan dana senilai Rp 1,2 triliun tersebut.

"Dari temuan di lapangan kita dapat informasi dana tersebut belum sampai sepenuhnya. Kita minta BPK dan Kejaksaan untuk melakukan audit investigatif," kata Ketua Tim Aceh dan Nias DPR Muhaimin Iskandar.

Muhaimin menyampaikan hal itu dalam konferensi pers usai rapat Tim Aceh dan Nias di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (2/3/2006).

Tim DPR menemukan dana bantuan belum diterima oleh sejumlah RS di Aceh. Bantuan yang belum sampai itu antara lain bantuan untuk RS Zaenal Abidin, RSJ Banda Aceh, dan beberapa dana jatah hidup. Untuk jumlahnya tim belum mengetahui karena harus diaudit terlebih dahulu. "Ya itu kita tunggu dari hasil audit," kata Muhaimin.

Muhaimin juga menyatakan akan memanggil menteri terkait yang harus mempertang - gungjawabkan dana tanggap darurat itu.

Sementara itu anggota Tim Aceh dan Nias Ahmad Farhan Hamid menyatakan, kerja Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh dan Nias selama ini belum memuaskan masyarakat.

Farhan minta BRR segera memindahkan para pengungsi dari tenda darurat ke rumah sementara. Farhan juga minta jalan-jalan di Banda Aceh bagian selatan harus segera diperbaiki karena satu tahun pasca tsunami belum ada kemajuan berarti.

Selain itu pendidikan dan kesehatan juga sangat memprihatinkan, terbukti dengan banyaknya anak-anak sekolah yang masih banyak belajar di tenda-tenda darurat. "Jika tidak bisa melakukan, ini berarti kerja BRR gagal," tandas Farhan. (iy)

SUMBER: Detik.com, 01/03/2006