Monday, July 17, 2006

Laporan dari Nias (3)

Tinggal dan Sekolah di Tenda Berjamur

NIAS - Keterbelakangan dan keterpurukan warga Nias kian lengkap pasca tsunami 26 Desember 2004 dan gempa bumi 28 Maret 2005. Infrastruktur payah, pendapatan kian rendah, harga melambung tak terjangkau, bahkan rumah pun tak punya.

Hingga pertengahan 2006, masih 352 Kepala Keluarga (KK) yang tinggal di tenda-tenda, 249 KK di antaranya di Nias Selatan. Sampai-sampai tendanya sudah bulukan alias berjamur menghitam. Belum lagi curah hujan yang relatif tinggi di Nias, membuat tenda-tenda itu kian lembab berjamur dan mengancam kesehatan penghuninya.

Sebagai terobosan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Nias dengan bantuan dari International Federation Red Cross & Red Crescent (IRRC) membangun rumah sementara dari papan. Dari stok 2.000 rumah kayu yang bisa dipasang sistem knock-down, saat ini telah berdiri 400-an rumah. Di samping itu BRR menargetkan sekitar 7.000 rumah permanen terbangun seluruhnya pada 2007.

“Puncak pembangunan September-Oktober ini, tapi harga kayu sudah empat kali lipat, bayaran tukang sudah naik dua kali lipat,” kata Manajer Khusus Pengungsi dan Urusan Percepatan Perwakilan BRR Nias, Yunus Situmorang.

Kalau urusan rumah sudah mulai tertangani dan segera akan mencapai puncak rekonstruksi, tidak demikian halnya dengan fasilitas pendidikan. Padahal 90 persen (732) gedung sekolah di kepulauan ini rusak akibat gempa.

Dari anggaran tahun 2005, BRR hanya mampu merehabilitasi 52 sekolah dan merekonstruksi 98 sekolah. Sampai-sampai Kepala Perwakilan BRR Nias, William Sabandar, mengancam akan mencopot Kepala Satuan Kerja (Satker) Pendidikan.

“Bayangkan dari 55 paket yang ditenderkan, hanya lima paket yang berhasil. Ini sebuah prestasi yang buruk,” tegas Willliam sebagaimana dikutip Buletin Fatuhe.

Tak pelak anak-anak Nias harus bersekolah di bawah tenda yang sudah bulukan. Padahal William mengakui rendahnya tingkat pendidikan di sini. Rata-rata penduduk hanya berpendidikan kelas enam Sekolah Dasar (SD), bandingkan dengan Medan yang rata-rata pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA).

Tokoh masyarakat Nias, Waspada Wau mengakui ada falsafah salah yang dianut penduduk Nias agar anak tidak melebihi orangtuanya. Selain itu ia memandang orang Nias belum tuntas dalam bernegara.

“Ibarat orang mau beli sepeda dengan menjual balok (kayu) ke pasar. Begitu melihat ada pajak sepeda, maka ia tetap jual baloknya tapi batal beli sepeda. Itu urusan sepeda, apalagi sekolah yang tidak terlihat hasilnya secara fisik,” jelas Waspada Wau kepada SH.

Terkerdilkan Aceh
Terlepas dari berbagai hambatan, dana untuk rehabilitasi dan rekonstruksi bagi Nias tergolong kecil. Dari anggaran tahun 2005, Perwakilan BRR Nias hanya mendapat alokasi Rp 430 miliar (sekitar 10 persen) dari total dana rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias. Tahun 2006 ini sedikit meningkat menjadi 11 persen dengan anggaran Rp 1,1 triliun.

Sementara dana dari donor internasional malah lebih kecil lagi. William Sabandar menyebut donor internasional hanya menyumbang kurang dari empat persen untuk rehabiltasi dan rekonstruksi Nias.

Data per Mei 2006 BRR menyebutkan ada komitmen dana Rp 920,4 miliar dari 59 LSM yang bekerja di Nias. Dari jumlah itu baru Rp 332,9 miliar (36 persen) yang terealisir, sementara yang Rp 587,5 miliar (64 persen) masih berupa janji.

“Padahal kalau melihat kerusakan di Nias sekitar 15 persen, idealnya Nias membutuhkan Rp 10 triliun dalam empat tahun untuk membangun kembali agar jadi lebih baik. Jadi dana ini jauh dari cukup,” keluh William.

Koordinator LSM Lazarus-Hilfswerk in Deutschland e.V, Gert W Widmann, mengakui Nias “terkerdilkan” oleh Aceh. Menurut dia, ini karena belum pernah dalam sejarah di negaranya orang melihat gelombang besar tsunami menyapu bersih seperti di Aceh, sehingga perhatian ke Aceh lebih besar. Ia juga menyoroti peran media yang lebih mengekspos Aceh, dibanding Nias yang memang terisolir dan sulit dijangkau.

Tak pelak lagi, Nias yang sudah terbelakang bakal kian tertinggal.

(mega christina)

Sunday, July 16, 2006

Laporan dari Nias (2)

Kemiskinan Absolut Kian Merajalela

Oleh: Mega Christina

P. NIAS - Kepulauan Nias, sebagaimana sebagian besar wilayah Nusantara, tidak hanya menyimpan kemiskinan infrastruktur mendalam. Di balik tanah subur nan menghijau, sungguh ironis kalau 80 persen penduduk Nias tergolong miskin sehingga perlu menerima Bantuan Tunai Langsung (BLT). Kesahajaan itu tercermin pada rumah kayu beratapkan rumbia dan beralasan tanah yang menjadi pemandangan biasa di Nias, sekali pun di Kota Gunung Sitoli.

Kepala Perwakilan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Nias William Sabandar mengakui dua kabupaten, yakni Nias dan Nias Selatan, merupakan kabupaten termiskin di Provinsi Sumatera Utara. Ia bahkan menyebutkan 132.000 keluarga tergolong bergizi buruk.

“Bencana tsunami dan gempa bumi diperkirakan akan mengurangi 20 persen Produk Domestik Bruto di Nias,” ujar William Sabandar.

Ia menambahkan, dari 740.726 penduduk Nias, akan bertambah sekitar 149.000 penduduk Nias yang hidup di garis kemiskinan. Bencana tsunami 26 Desember 2004 dan gempa bumi 28 Maret 2005 membuat kemiskinan rakyat Nias kian merajalela.

Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Itulah nasib penduduk Nias yang 95 persen beragama Kristen dan Katolik.

Pascagempa bumi rusaknya infrastruktur jalan, jembatan, dan pelabuhan mempertinggi biaya angkutan, padahal kebutuhan pokok di kepulauan ini banyak yang mesti “diimpor” dari daratan Sumatera melalui Pelabuhan Sibolga, Sumatera Utara.

Belum lagi, kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) Maret dan Oktober 2005. Ini turut mendongkrak kenaikan harga-harga kebutuhan pokok di Nias.

Parahnya harga kebutuhan meroket, sedangkan pendapatan dari komoditas lokal justru merosot. Perwakilan BRR Nias menyebutkan harga komoditas lokal anjlok sampai 70 persen.

Misalnya, beras dulu harganya setara dengan kelapa, komoditas andalan Nias. Sekarang di Desa Balefodorotuho, Kecamatan Lahewa, di ujung utara Pulau Nias, harga beras bisa mencapai lebih dari Rp 5.000 per kilogram (kg). Sementara itu, pendapatan dari kelapa utuh yang dulu laku sampai Rp 1.700/kg, kini tinggal Rp 900/kg.

“Setelah gempa, pabrik minyak kelapa tinggal satu, jadi mereka yang menentukan harga. Enam kilo kelapa baru kita dapat satu kilo beras,” keluh Fatiziduhu Zalukhu, seorang petani tradisional, ketika wartawan Jakarta berkunjung di Balefodorotuho.
Memang harga hampir semua barang di Nias jauh lebih mahal, bahkan dibanding dengan Jakarta sekali pun. Contohnya ketika seorang wartawan membeli mie cup instant di Gunung Sitoli, harganya dua kali lipat dibanding di Jakarta. Barang-barang kebutuhan pokok tak terbeli, tak heran kalau kasus gizi buruk kian menjadi-jadi.

Ikan pun Mahal
Harga ikan tangkapan nelayan tradisional di Nias pun ikut mahal. Pasalnya 90 persen kehidupan nelayan dan petani telah menjadi korban tsunami dan gempa bumi. Tidak hanya desa-desa nelayan rusak, kapal dan perangkat kerja lainnya juga turut hancur.

Itu belum apa-apa. Pasalnya gempa bumi 8,7 skala Richter (SR) 28 Maret 2005 itu telah menyebabkan perubahan struktur tanah di Kepulauan Nias. Di Kecamatan Lahewa, Afulu dan Sirombo, permukaan daratannya naik, sehingga air laut surut hingga 500 meter.

“Kami dulu mendapat ikan dengan memancing hanya 500 meter dari pinggir pantai. Sekarang sudah satu kilometer lebih belum tentu dapat ikan, padahal kami punya hanya sampan kecil,” kata Afrar Tanjung, nelayan Desa Sihene, Kecamatan Lahewa, sebagaimana dikutip buletin Fatuhe di Nias.

Perubahan struktur tanah di pantai timur Pulau Nias, justru menenggelamkan desa nelayan Tagaule Onlimbo, Kecamatan Bawolato. Selain itu, muncul karang sepanjang Pantai Sorake di Kecamatan Teluk Dalam, Nias Selatan, sehingga nelayan sulit melaut.

Tah heran kalau harga ikan pun ikut menjadi mahal, meski tak harus “diimpor” dari luar Nias. Kehidupan pun kian sulit di kepulauan dengan lambaian ribuan nyiur melambai ini. Memiriskan hati. (*)

Sumber: Sinar Harapan, 15 Juli 2006.

Laporan dari Nias (1)

Tak Ada Sedan, kecuali Mobil Bupati

Oleh: Mega Christina

Pengantar Redaksi:

Atas undangan Perwakilan Badan Rehabiliasi dan Rekonstruksi (BRR) Nias, SH bersama empat wartawan lain dari Jakarta meliput pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi di Gunung Sitoli, Teluk Dalam, Lahewa, dan sekitarnya, 27-30 Juni 2006. Berbagai permasalahan menyeruak, SH menurunkannya dalam tiga tulisan bersambung mulai hari ini.

NIAS – Waktu serasa berjalan mundur di kepulauan ini. Sudah belasan tahun tidak pernah melihat pembuatan jalan dengan cara manual, ternyata di sekitar Kecamatan Lotu, Nias, pekerja pengaspal jalan masih menata batu dengan tangan dan menyiraminya dengan aspal yang dimasak pakai drum.

Itu pun hanya beberapa kilometer yang diaspal secara manual dengan lebar yang mepet untuk berpapasan dua mobil. Selebihnya lepas dari Gunung Sitoli Utara ke Lahewa adalah offroad alias jalanan berdebu dan berbatu, nyaris tak lagi beraspal. Tak jarang, lubang menganga dengan genangan air bak kubangan kerbau di tengah jalanan.

Tak heran kalau jarak tempuh 80 kilometer memakan waktu tidak kurang dari empat jam. Selama itu, jangan harap bisa merebahkan diri, untuk meletakkan kepala di sandaran mobil saja sudah tak mungkin. Pasalnya sepanjang jalan badan akan tergoncang-goncang, syukur kalau penumpangnya tidak terbentur body atau jendela mobil.

Itu belum apa-apa dibanding jalan ke arah pedalaman dan ke daerah pantai barat Pulau Nias. Di sana jalanan bukan sekadar offroad, malah tak jarang sudah bukan lagi jalanan yang bisa ditempuh dengan kendaraan roda empat, bahkan roda dua sekali pun. Jalan kaki menjadi satu-satunya pilihan yang tersedia untuk menembus pedalaman Nias yang berbukit-bukit.

Hal itu diperburuk dengan kondisi jembatan yang melintasi 92 sungai dari hulu ke hilir pantai-pantai Pulau Nias. Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh dan Nias melaporkan tidak kurang dari 400 jembatan rusak pascagempa bumi 8,7 skala Richter melanda Kepulauan Nias, 28 Maret 2005 lalu.

Gunung Sitoli-Lahewa hanya memiliki 1-2 jembatan yang utuh. Selebihnya ambruk, sehingga titian kayu yang ditata melintang dengan kayu memanjang dua jalur menjadi jembatan alternatif. Tak sedikit kondisi titian ini yang mengenaskan, dengan kayu lepas dan berlubang yang membahayakan pengendara yang melintas di atasnya.

Belum lagi kaki-kaki titian ini terancam penambangan pasir di bawah jembatan. Pengerukan secara merajalela itu jelas membahayakan fondasi kaki-kaki jembatan yang tertancap di dasar sungai tadi.

Tak heran kalau di Nias hampir tak ada mobil sedan. Kalaupun ada, itu kendaraan dinas Bupati Nias yang kini dijabat Binahati B Baeha.

Sudah Terbelakang

Kepala Perwakilan BRR di Nias, William Sabandar, menilai keterbelakangan Nias sudah terjadi bahkan jauh sebelum tsunami 26 Desember 2004 dan gempa bumi besar itu. Menurutnya infrastruktur di Pulau Nias sendiri sudah sangat parah sebelum bencana alam itu terjadi, apalagi di 132 pulau-pulau kecil di sekitarnya.

“Pulau-pulau kecil itu betul-betul terabaikan,” kata William ketika menerima wartawan dari Jakarta yang berkunjung ke Nias, pekan lalu.

Untuk rumah, ia mencontohkan. Sebelum gempa, tambahnya, kondisi rumah penduduk Nias sudah banyak yang tidak layak. Tak pelak begitu gempa menimpa, tidak kurang dari 15.000 rumah luluh lantak. Belum lagi bangunan sekolah. Ada 755 sekolah yang roboh akibat gempa alias 90 persen dari jumlah bangunan sekolah di Nias.

Sebelum gempa sistem air bersih tidak memadai. Perusahaan air minum hanya tersedia di Gunung Sitoli dan Teluk Dalam, ibu kota Nias Selatan (Nisel). Sekarang kondisinya lebih memprihatinkan. Ini mengingat sumur-sumur di pantai bagian barat dan utara Nias tak lagi berair karena perubahan struktur tanah.

Belum lagi urusan listrik. Sebelum gempa, cuma 30 persen wilayah Nias yang menikmati listrik, itu pun hanya di bagian timur dan di jalan-jalan kabupaten.

Namun setahun setelah gempa bumi, baru Kota Gunung Sitoli yang memiliki jalan mulus beraspal hotmix dan cukup lebar untuk berpapasan dua mobil tanpa harus berhenti. Malangnya justru kini, di ibu kota Nias bagian utara ini tiada hari tanpa kecelakaan lalu lintas.

Dilema sebuah jalan. Kalau rusak, hancur lebur sulit dilewati. Kalau mulus, tiap hari timbul kecelakaan. (*)

Sumber: Sinar Harapan - 14 Juli 2006