Monday, November 28, 2005

DPRDSU : Awasi Kucuran Dana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Nias Rp 431 M

Medan (SIB)

Kalangan anggota DPRD Sumut asal pemilihan Nias dan (Nias Sela­tan) menegaskan, pengucuran dana rehabilitasi dan rekonstruksi Nias sebesar Rp431 miliar harus diawasi secara ketat, agar dana bantuan dari pemerintah melalui BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi) itu tidak terjadi ‘kebocoran-kebocoran’ yang akhirnya tidak tepat sasaran.

Penegasan ini diungkapkan Wakil Sekretaris F-PDIP DPRD Sumut Analisman Zalukhu, SSos dan Bendahara F-PDS Drs Amaano Fau MSi kepada wartawan, Sabtu (26/11) di Medan, menanggapi tentang pengucuran dana untuk rehabilitasi dan rekonstruksi Nias pasca bencana gempa dan tsunami sebesar Rp431 miliar.

Dikatakan Analisman yang juga anggota Komisi B itu, dana rehabil­itasi dan rekonstruksi Nias yang dikucurkan itu cukup besar dan harus benar-benar disalurkan tepat sasaran, karena masyarakat Nias dan Nisel yang terkena bencana gempa dan Tsunami cukup banyak mengalami keru­gian.

Dalam penyaluran dana itu, lanjut Analisman, dilaksanakan melalui pembentukan kepala satuan kerja sementara baik di tingkat propinsi, departemen teknis maupun pemerintah kabupaten Nias dan Nisel dibawah kendali BRR. Namun dalam pelaksanaannya harus berdasarkan prosedur yang berlaku dan tetap mengedepankan rasa keadilan dan kebersamaan.

Karena, kata Analisman lagi, dana yang disediakan pemerintah sudah ditetapkan peruntukannya. Misalnya pengembangan perumahan dan pemukiman Nias Rp61,59 miliar, pembinaan dan perencanaan irigasi Nias Rp3,44 miliar, pengembangan kebudayaan Nias Rp5,15 miliar.

Begitu juga pendataan kependudukan Nias Rp3,5 miliar, peningkatan pelayanan kesehatan Nias Rp23,76 miliar, pemberdayaan ekonomi dan usaha Nias Rp29,66 miliar, pelayanan dan rehabilitasi kesejahteraan sosial Nias Rp5,45 miliar dan masih banyak yang lain.

“Kita berharap tidak lagi mendengar adanya informasi miring ten­tang penyelewengan dana ratusan miliar yang diperuntukkan merehabili­tasi dan merekonstruksi Nias pasca bencana. Seluruh lapisan Masyarakat termasuk LSM harus tetap melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan di lapangan,” tandas Analisman senada Amaano.

Jika BRR melakukan penyelewengan, tegas Zalukhu dan Fau, harus segera dilaporkan ke pihak berwajib, karena masalah penyaluran dana untuk masyarakat dan daerah kabupaten Nias dan Nisel ini menyangkut nasib maupun masa depan orang Nias. Bahkan Wagubsu Rudolf M Pardede sudah wanti-wanti agar para pelaksana jangan coba-coba untuk memper­mainkan dana tersebut.

Diingatkan kedua anggota dewan tersebut, alokasi dana yang diber­ikan pemerintah untuk rehabilitasi dan rekonstruksi Nias dan Nisel jangan dijadikan sebagai ajang bagi-bagi proyek, sehingga berusaha mencari keuntungan besar dengan mengabaikan kepentingan masyarakat Nias yang selama ini cukup menderita akibat bencana alam tersebut.

“Kita tidak ingin para pelaksana mencari atau mendapat keuntungan dari penderitaan masyarakat Nias, tapi bagaimana untuk membangkitkan kembali masyarakat Nias dari kehancuran, karena masyarakat di Nias juga merupakan rakyat Indonesia yang senasib dan sepenanggungan dengan masyarakat kabupaten lainnya di negara ini,” tambah Amaano. (A13/d)

Sumber: Harian SIB Online, 28 November 2005

Sunday, November 27, 2005

BRR Perlu Pertimbangkan Bentuk Lembaga Pendukung untuk Menghasilkan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Nias

Gunungsitoli (SIB)

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Nias perlu mempertimbangkan membentuk lembaga pendukung dengan melibatkan elemen dan potensi masyarakat Nias guna mendukung keberhasilan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi Nias pasca gempa.

Hal itu diungkapkan pengurus Nias Independent Monitoring Unit (NIMU) terdiri dari Drs N Hondo, Melkheor Duha, Ir Armien Telaumbanua, Tolanokho Hia dan Petrus Gulo kepada sejumlah wartawan, Selasa (15/11) di Gunungsitoli.

Menurut NIMU, lembaga pendukung itu nantinya akan membantu BRR mengatasi dan memberikan masukan terhadap berbagai hambatan yang dialami BRR khususnya di daaerah pedesaan berkaitan dengan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi.

NIMU juga berpandangan selama ini BRR kurang membuka diri serta tidak melibatkan berbagai elemen maupun potensi masyarakat untuk mendukung pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi Nias sehingga belum juga berjalan hingga kini.

Bahkan banyak masyarakat Nias dan Nias Selatan yang hingga kini belum juga memahami keberadaan BRR karena kurangnya sosialisasi yang dilakukan BRR.

“Bagaimana masyarakat mendukung program serta memberhasilkan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi Nias bila BRR sendiri belum diketahui masyarakat maksud keberadaannya di Nias dan Nias Selatan,” ujar Hondo yang juga Tim Leader NIMU.

Selama ini berdasarkan hasil monitoring yang dilakukan NIMU, BRR terlalu banyak berkutat menyusun program dan menghabiskan anggaran operasional dengan membeli mobil, menyewa dan membangun kantor.

NIMU menilai BRR hanya memprioritaskan kepentingan personil dan pembangunan fisik sedangkan pembangunan untuk kepentingan masyarakat banyak seperti rumah hingga kini terkesan belum terealisasi secara nyata.

Sehubungan dengan hal itu NIMU berharap, BRR jangan melakukan pemborosan anggaran untuk biaya operasional dengan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi yang langsung menyentuh terhadap kepentingan masyarakat belum juga terlihat.

Pada kesempatan itu Melkheor Duha juga menegaskan bahwa NIMU siap dilibatkan oleh BRR maupun NGO khususnya memberikan data yang dibutuhkan dalam mendukung keberhasilan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi di Nias. (B1/y)

Sumber: Harian SIB Online, 27 November 2005

Saturday, November 26, 2005

Critics slam huge salary for 'underachieving' BRR

National News - November 23, 2005

Nani Afrida, The Jakarta Post, Banda Aceh

Antigraft activists have criticized members of the Aceh and Nias Reconstruction and Rehabilitation Agency (BRR) as "overpaid and underachieving".

"The salary of the BRR chairman is higher than the President's. It is also higher than the salary of the Corruption Eradication Commission chief, who does a lot more work," Akhiruddin Wahyuddin, coordinator of the Aceh Anticorruption Movement (Gerak), said here on Tuesday.

According to Gerak, BRR chairman Kuntoro Mangkusubroto's monthly take-home pay is Rp 75 million (US$7,500). His deputy is paid Rp 62.5 million and other top executives receive Rp 35 million a month.

President Susilo Bambang Yudhoyono's monthly salary, according to the corruption watchdog, is about Rp 62.7 million.

"Allocating that much money for BRR staff is insulting. So many Acehnese are still living in refugee tents (following the Dec. 26 tsunami)," Akhiruddin said.

He said the BRR's total budget of Rp 3.9 trillion came from an interest moratorium on Indonesia's debts to donor countries.

"That money should be used for tsunami victims," Akhiruddin said, calling the salaries being paid to BRR executives "another form of legalized theft of public funds".

Gerak also criticized the large budget allocation for housing for BRR officials, which the group said amounted to Rp 440 million per year for the chairman, his deputies and secretary.

Gerak demanded that the BRR and the House of Representatives review the agency's budget, and urged the agency to be more transparent in managing its budget. BRR deputy head for communications and information Sudirman Said welcomed the criticism, but said the budget allocations cited by the group were not final.

"The President has yet to approve (the budget)," Sudirman said, adding that high salaries were a good way to prevent officials from becoming involved in corruption.

The agency has been criticized at home and abroad for the slow pace of reconstruction in Aceh, which was devastated by the Dec. 26 tsunami that left over 200,000 people dead or missing.

Source: Jakarta Post (http://www.thejakartapost.com)

The BRR Approach to Transparency and Accountability

Context
Considering the challenges of managing and accounting for a large amount of resources within a tight time frame and under circumstances in which pre-existing administrative and governance capacity has been weakened, the need for an aggressive and pro-active approach to preventing corrupt practices from undermining the integrity of the rehabilitation and reconstruction program has been a top priority for the Rehabilitation and Reconstruction Agency (BRR) Aceh-Nias since its establishment.

Key elements to the BRR approach
The BRR approach to overcoming the challenges presented by corruption is to establish the highest ethical standards with regards to staff and officials of BRR. BRR also aggressively promotes to the public and to its partners the appropriate ways to engage with BRR so as to minimize the potential for corruption.

Specific programs include:
  • All staff and officials of BRR sign detailed Integrity Pacts that outline the ways in which they are to manage potential ethical hazards in performing their duties;
  • All development partners whose programs are endorsed by BRR sign an anti corruption pact which they are able to use to affirm their commitment to potential interlocutors who might wish to engage them in any corrupt activities;
  • Transparency in program development and reporting, including through the RAN Database System which once fully operational will provide detailed information through an open internet program the status of all projects being funded in the rehabilitation and reconstruction of Aceh and Nias;
  • Deployment of a 40 person strong (international and national) team of experts with a mandate to ensure quality assurance of programs being implemented throughout the affected regions;
  • Deployment of a 30 person team of national auditors who are tasked with overseeing compliance and also providing advice to procurement teams with a view to preventing any deviation from appropriate systems;
  • Active promotion of a “no gratuities” program that targets both staff and officials of BRR (do not accept) and to the wider community (do not give). The objective of this program is to reduce the potential for the abuse of gifts and gratuities for inappropriate purposes;
  • Establishment of a dedicated Anti Corruption Unit within BRR.

The BRR Anti Corruption Unit (Satuan Anti-Korupsi, or SAK)
Spearheading the overall approach to the BRR anti corruption strategy is a dedicated Anti Corruption Unit. The Unit has three broad areas of engagement, namely:

Prevention: This means looking at systems to identify potential areas of weakness that may give rise to corrupt practices and recommending improvements to strengthen the integrity of the systems concerned.

Education: This component focuses on getting the messages clear and targeted on the imperative of high ethical standards. This means getting messages to staff and officials on how to apply the highest standards and to the wider community on how to work with BRR while maintaining high standards.

Investigation. The Unit also has the capacity to review specific activities to ensure they comply with procedures and to the maximum extent possible prevent the loss of resources through potentially corrupt practices. In this way the process of investigation may be seen akin to “a stitch of prevention in time saves 9 investigations later”.

The Unit works closely with other agencies with a mandate to redress the problems of corruption, collusion ad nepotism. In cases where the Unit senses a potential of corruption, the information is fed to the nation’s Anti Corruption Commission. In cases where collusion may have taken place, the information is fed to the nation’s Supervisory Commission for Business Competition. For more general cases of criminal breach of law, the police will be contacted.

The Unit has also established an active complaints handling process. Since being established in mid September to mid November the Unit received some 120 complaints. Of this figure some 20% related to possible issues of corruption or collusion, while a further 18% relate to issues of processing tenders. A further 16% relate to issues of staff performance.

Many other cases include requests to staff of the Unit on matters of personal professional ethical advice. This component represents an important part of the prevention approach. Additionally staff and officials use this service when developing their work programs to ensure these programs are insofar as possible free of ethical hazards.

More recently external agencies such as donors have also begun to make use of these ethical advisory services of the Unit to ensure that their programs are free of potential problems.

In addition to providing a mechanism to launch reviews of systems and practices, the complaints system generates very useful data, which is used by the Unit to develop programs of targeted intervention, be these systems reforms or information/education campaigns.

In the near future the Unit will, in cooperation with other institutions, launch a campaign targeting officials, business people, NGOs and the media focused on problems related to collusion in tendering. The program will cover both regions of Aceh and Nias.

The establishment of the Unit as an integral part of the Executing Agency of the BRR was a deliberate decision taken to ensure that programs of ethical administration are “mainstreamed” into core work practices rather than being seen as imposed externally.

Source: www.e-aceh-nias.org

Konsep BBR Menuju Prinsip Transparansi dan Akuntabilitas

22 November 2005.

Konteks
Berdasarkan tantangan dalam mengatur dan mengelola sumber daya berjumlah besar dalam kurun waktu yang begitu ketat dan dibawah lingkungan administratif serta kapasitas tata kelola yang lemah, maka kebutuhan untuk membuat konsep yang agresif dan pro-aktif untuk mencegah praktik korupsi dalam menegakkan integritas program rehabilitasi dan rekontruksi menjadi prioritas utama bagi Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) NAD-Nias sejak pertama terbentuk.

Unsur-unsur Kunci dalam Konsep BRR
Konsep BRR untuk mengatasi berbagai tantangan korupsi yang sekarang adalah dengan membentuk standar etik tertinggi yang harus ditaati oleh seluruh pegawai dan pejabat BRR. BRR juga mempromosikan hal ini secara agresif pada publik dan mitranya untuk menggunakan cara yang sama dengan BRR sehingga bisa meminimalisir potensi untuk korupsi.

Program-program khusus tersebut termasuk:
• Seluruh pegawai dan pejabat BRR menandatangani Perjanian Integritas yang detil dengan penekanan untuk mengedepankan etika moral dalam menjalankan tugas –tugasnya;
• Seluruh mitra pembangunan yang program-programnya didukung oleh BRR juga menandatangani perjanjian anti korupsi dimana mereka bisa menggunakannya sebagai komitmen untuk mencegah potensi kolusi yang memungkinkan mereka melakukan aneka kegiatan korupsi;
• Transparansi dalam berbagai program pembangunan dan pelaporannya, termasuk melalui RAN Database System (via sambungan internet terbuka) yang berisi informasi rinci tentang status semua program yang didanai untuk pelaksanaan rehabilitasi dan rekontruksi NAD dan Nias;
• Menugaskan 40 orang (asing maupun nasional) sebagai tim ahli yang kuat dan memiliki mandat untuk memastikan jaminan kualitas program–program yang diimplementasikan pada seluruh wilayah yang terkena dampak tsunami;
• Menugaskan 30 orang auditor nasional dalam satu tim yang tugasnya mengawasi kepatuhan dan juga menyediakan advis ke tim-tim pengadaan dengan tujuan untuk mencegah berbagai penyelewengan dari berbagai sistim yang ada;
• Aktif mempromosikan program “menolak pemberian” yang ditujukan bagi pegawai dan pejabat BRR (untuk tidak menerima apapun) dan masyarakat luas (untuk tidak memberi apapun). Tujuan program ini adalah untuk mengurangi berbagai kemungkinan dengan menolak hadiah dan pemberian dengan tujuan terselubung;
• Membentuk Unit Anti Korupsi di BRR.

Satuan Anti-Korupsi BRR, atau SAK
Guna menangani konsep menyeluruh strategi anti korupsi BRR maka dibentuklah Unit Anti Korupsi. Unit ini memiliki tiga wilayah besar penugasan yang bernama:

Pencegahan: Maksudnya untuk melihat sistim guna mengenali area potensial yang lemah yang memungkinkan berkembangnya praktik-praktik korupsi dan memungkinkan pengembangan untuk penguatan sistim.

Pendidikan: Komponen ini terfokus pada penyampaian pesan yang jelas dan ditujukan untuk meningkatkan standar etik yang tinggi. Maksudnya untuk menyampaikan berbagai pesan ke seluruh pegawai dan pejabat dalam melaksanakan standar etik tertinggi serta ke masyarakat luas tentang cara bekerja dengan BRR dengan standar etik tertinggi pula.

Investigasi: Unit ini juga punya kemampuan untuk mengkaji-ulang kegiatan-kegiatan khusus untuk menjamin pelaksanaan prosedur dan memaksimalkan pencegahan kemungkinan hilangnya sumberdaya yang besar melalui praktik-praktik potensi korupsi. Dengan cara ini, proses investigasi mungkin terlihat seperti “Penegakan satu pencegahan akan menyelamatkan 9 investigasi nanti”.

Unit ini bekerja erat dengan badan-badan lain yang mendapatkan mandat menangani masalah-masalah korupsi, kolusi dan nepotisme. Dalam satu kasus dimana Unit mendeteksi adanya potensi korupsi, maka info tersebut akan diserahkan pada Komisi Anti Korupsi. Jika ada kasus kolusi, maka Unit akan menyerahkan kasusnya pada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Untuk kasus pelangggaran hukum secara umum maka Unit akan memanggil pihak kepolisian.

Unit ini sejak terbentuk sudah aktif menangani berbagai proses pengaduan. Sejak awal berdiri pada pertengahan September ke pertengahan Nopember, Unit ini sudah menerima sekitar 120 pengaduan. Berdasarkan data, sekitar 20% pengaduan berhubungan dengan isu kemungkinan terjadinya korupsi dan kolusi, Sebanyak 18% pengaduan tentang isu proses tender. Sedangkan 16% berhubungan dengan isu kinerjia pegawai BRR.

Juga menangani berbagai macam kasus lain termasuk permintaan-permintaan pegawai ke Unit guna mendapatkan advis etika profesional secara pribadi. Komponen ini mewakili bagian terpenting dalam konsep pencegahan. Memasukkan pegawai dan pejabat untuk memanfaatkan layanan ini dalam pengembangan program-programnya dapat menjamin program-programnya bebas dari beban pelanggaran etika.

Sudah banyak badan-badan asing seperti donor yang mulai menggunakan layanan penanganan etik dari Unit ini guna memastikan program-programnya bebas dari berbagai potensi masalah pelanggaran etika moral.

Sebagai tambahan untuk menyediakan mekanisme mengkaji-ulang sistim dan latihan, sistim pengaduan menghasilkan data paling bermanfaat yang dapat digunakan bagi Unit untuk mengembangkan berbagai program untuk intervensi, menjadi aneka reformasi sistim atau menjadi aneka bahan kampanye informasi/pendidikan.

Dalam waktu dekat Unit akan bekerjasama dengan institusi-institusi lain, guna meluncurkan serangkaian kampanye yang ditujukan pada para pegawai, kalangan usaha, kalangan LSM lokal dan asing, dan media yang terfokus pada berbagai isu yang terkait dengan kolusi dalam proses tender. Program ini meliputi wilayah Aceh maupun Nias.

Terbentuknya Unit merupakan bagian integral dari Badan Pelaksana BRR untuk mengambil keputusan serta memastikan program-program etik administrasinya menjadi “arus utama” dalam kerja praktis di dalam ketimbang hanya terlihat sebagai paksaan dari luar.

Sumber: www.e-aceh-nias.org